Belum lama kita dikejutkan tragedi Situ Gintung di Tanggerang, kali ini tragedi yang menelan 24 korban meninggal menimpa 6 kru pesawat dan 18 penumpang, anggota parkhas dan siswa diklat paralayang tempur TNI AU saat pesawat Foker 27 milik TNI AU dengan nomor registrasi A 2703 yang di kendarai itu jatuh dan menghantam hanggar unit Aircraft Service (ACS) milik PT. Dirgantara Indonesia di pangkalan udara Hussein Sastranegara, Bandung Jawa Barat. Akibat kecelakaan itu yang terlihat rusak paling parah adalah pesawat milik Deraya yang tertimpa komponen sayap center wing Foker milik TNI. Pesawat NC 212-200 itu rencananya akan dikirim kembali akhir pekan setelah selesai dikerjakan. 1 pesawat (Boeing) 737 juga tertabrak, tetapi tidak terlalu parah.
Ini merupakan kecelakaan pesawat TNI AU yang keempat kalinya dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Antara lain pada Januari 2008 helikopter jenis Twin Pack S 58 T milik pangkalan TNI-AU Lanud Pekanbaru jatuh di perkebunan kelapa sawit di Desa Ogom, Riau saat melakukan latihan rutin. Selanjutnya pesawat jenis Casa 212 milik Skadron 4, Lanud Abd Saleh, jatuh di jurang di Kampung Tegal Lilin, Pasir Gaok, Kecamatan Tenjolaya, Kaki Gunung Salak, Bogor 26 Juni 200 menewaskan lima kru dan 13 penumpang.
Memang kita semua sudah sering sekali mendengarkan dan hampir bosan dengan berita-berita tentang kecelakaan pesawat, dan memang Estimasi penyebab kecelakaan saja yang dapat kita ketahui dari media. Pasca kecelakaan, laporan penyelidikan tim yang ditunjuk tidak pernah dipublikasikan. Padahal, keterbukaan informasi merupakan pertanggungjawaban maskapai komersial, termasuk TNI kepada publik atas penggunaan alat utama persenjataan yang dibiayai negara. Bagaimanapun, transparansi sebab-sebab pesawat jatuh sangat penting diketahui publik.
Tetapi belum ada keterangan resmi penyebab pesawat jatuh. Namun diduga kuat pesawat jatuh karena gagal landing akibat tersambar petir yang mengenai atap pesawat yang pada saat itu terjadi hujan yang sangat deras. Konon, pesawat TNI AU jenis F-27 yang jatuh tersebut juga termasuk kategori pesawat tua yang telah berusia 30 tahun, yang akan segera dipensiunkan. Selain faktor usia pesawat, dan faktor cuaca buruk, kondisi bandar udara/lanud Husein Sastranegara, juga perlu dicermati. Mengutip pendapat Capt R Muh Syafei, mantan Pilot Garuda Indonesia kepada koran ini, sejak dulu Bandara Hussein Sastranegara memang dikenal sebagai bandara yang memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi, masuk dalam bandara dengan grid IV, atau yang paling sulit. Pilot pengalaman yang harus melewati bandara ini, setidaknya kapten saja harus pengalaman dua tahun menjadi kapten agar bisa melakukan take off atau landing.
Kerap terjadinya kecelakaan pesawat terbang menunjukkan adanya ketidakberesan. Upaya peningkatan kualitas penerbang dan sistem keselamatan pesawat sebelum terbang ternyata belum mampu menangkal kejadian serupa. Anehnya, kasus-kasus kecelakaan tersebut hanya menjadi rekam sejarah pahit tanpa ada upaya evaluasi. Selama ini yang menjadi penyebab rentetan peristiwa kecelakaan tak pernah secara transparan diungkap kepada khalayak. Malah, seakan-akan ada upaya penutupan informasi. Apakah kontrol kelayakan pesawat secara teknis sebelum terbang kurang optimal?
Tetapi disini penulis ingin mengomentari, jika memang karena faktor cuaca, toh sudah seharusnya mereka yang akan melakukan penerbangan (kapten) sudah dapat memprediksikan jika akan terjadi cuaca buruk dan mem pending nya dahulu demi safety. Penulis juga pernah membaca salah satu artikel, bahwa pesawat dapat terbang atau beroperasi secara maksimal jika usia pesawat tidak lebih dari 30 tahun. Tetapi tidak tahu mengapa kita tidak bisa belajar dari pengalaman (seringnya terjadi kecelakaan), sudah sewajarnya jika kita lebih pintar dalam mengantisipasi terjadinya kecelakaan pesawat karena seringnya terjadi accident.
Ini merupakan kecelakaan pesawat TNI AU yang keempat kalinya dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Antara lain pada Januari 2008 helikopter jenis Twin Pack S 58 T milik pangkalan TNI-AU Lanud Pekanbaru jatuh di perkebunan kelapa sawit di Desa Ogom, Riau saat melakukan latihan rutin. Selanjutnya pesawat jenis Casa 212 milik Skadron 4, Lanud Abd Saleh, jatuh di jurang di Kampung Tegal Lilin, Pasir Gaok, Kecamatan Tenjolaya, Kaki Gunung Salak, Bogor 26 Juni 200 menewaskan lima kru dan 13 penumpang.
Memang kita semua sudah sering sekali mendengarkan dan hampir bosan dengan berita-berita tentang kecelakaan pesawat, dan memang Estimasi penyebab kecelakaan saja yang dapat kita ketahui dari media. Pasca kecelakaan, laporan penyelidikan tim yang ditunjuk tidak pernah dipublikasikan. Padahal, keterbukaan informasi merupakan pertanggungjawaban maskapai komersial, termasuk TNI kepada publik atas penggunaan alat utama persenjataan yang dibiayai negara. Bagaimanapun, transparansi sebab-sebab pesawat jatuh sangat penting diketahui publik.
Tetapi belum ada keterangan resmi penyebab pesawat jatuh. Namun diduga kuat pesawat jatuh karena gagal landing akibat tersambar petir yang mengenai atap pesawat yang pada saat itu terjadi hujan yang sangat deras. Konon, pesawat TNI AU jenis F-27 yang jatuh tersebut juga termasuk kategori pesawat tua yang telah berusia 30 tahun, yang akan segera dipensiunkan. Selain faktor usia pesawat, dan faktor cuaca buruk, kondisi bandar udara/lanud Husein Sastranegara, juga perlu dicermati. Mengutip pendapat Capt R Muh Syafei, mantan Pilot Garuda Indonesia kepada koran ini, sejak dulu Bandara Hussein Sastranegara memang dikenal sebagai bandara yang memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi, masuk dalam bandara dengan grid IV, atau yang paling sulit. Pilot pengalaman yang harus melewati bandara ini, setidaknya kapten saja harus pengalaman dua tahun menjadi kapten agar bisa melakukan take off atau landing.
Kerap terjadinya kecelakaan pesawat terbang menunjukkan adanya ketidakberesan. Upaya peningkatan kualitas penerbang dan sistem keselamatan pesawat sebelum terbang ternyata belum mampu menangkal kejadian serupa. Anehnya, kasus-kasus kecelakaan tersebut hanya menjadi rekam sejarah pahit tanpa ada upaya evaluasi. Selama ini yang menjadi penyebab rentetan peristiwa kecelakaan tak pernah secara transparan diungkap kepada khalayak. Malah, seakan-akan ada upaya penutupan informasi. Apakah kontrol kelayakan pesawat secara teknis sebelum terbang kurang optimal?
Tetapi disini penulis ingin mengomentari, jika memang karena faktor cuaca, toh sudah seharusnya mereka yang akan melakukan penerbangan (kapten) sudah dapat memprediksikan jika akan terjadi cuaca buruk dan mem pending nya dahulu demi safety. Penulis juga pernah membaca salah satu artikel, bahwa pesawat dapat terbang atau beroperasi secara maksimal jika usia pesawat tidak lebih dari 30 tahun. Tetapi tidak tahu mengapa kita tidak bisa belajar dari pengalaman (seringnya terjadi kecelakaan), sudah sewajarnya jika kita lebih pintar dalam mengantisipasi terjadinya kecelakaan pesawat karena seringnya terjadi accident.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar