Kontroversi mengenai UN (diperuntukan untuk siswa setingkat SLTP dan SMU) mungkin bukan lagi hal yang asing ditelinga kita, UN (Ujian Nasional) dinilai banyak pihak sangat memberatkan bagi sebagian siswa yang mendapatkan standarisasi pendidikan yang kurang memadai, baik dari segi fasilitas dan kualitas. UN dinilai faktor penentu dari masa belajar yang didapatkan selama tiga tahun, terang saja apa yang telah didapatkan selama tiga tahun di bangku sekolah ini akan sia-sia jika hasil yang keluar pada UN dinyatakan Tidak Lulus (khususnya bagi mereka yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri).
Beberapa fenomena yang sering dijumpai saat ini diantaranya :
1. Cara belajar siswa khususnya siswa kelas tiga, bukan lagi bagaimana memahami konsep ilmu pada masing-masing pelajaran, tetapi mirip dengan bagaimana caranya menngerjakan soal. Semua perhatian tertuju pada Ujian Nasional. Sehingga, banyak guru yang menyuapi siswa-siswa dengan latihan soal, latihan soal dan latihan soal. Jadi tidak sedikit, siswa yang lulus UN merupakan siswa yang menguasai konsep, tapi siswa yang menguasai soal.
2. Siswa sangat dituntut dan dibebankan untuk lulus UN dengan standarisasi yang telah ditetapkan, sehingga banyak dari sebagian siswa yang mengikuti UN dengan menghalalkan berbagai cara, dari mulai mencontek, membeli soal, menuntut pihak sekolah untuk membocorkan soal, menuntut guru setempat untuk membantu mengerjakan soal UN, melakukan penjokian dan lain sebagainya.
3. Sebagian siswa juga menganggap UN bukanlah Ujian Kognitif, tetapi merupakan Ujian Nasib, dikarenakan tidak sedikit dari para pendahulunya yang selalu mendapatkan ranking di kelas malah dinyatakan tidak lulus, tetapi sebaliknya siswa yang slenge'an malah lulus.
Memang perdebatan yang sering muncul tersebut tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tetapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.
Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai yang tinggi, yaitu 5,5 Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN. Dan pada penyelenggaraan UAN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik.Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang--pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek. Kempat, pembiayaan. Dalam dua kali UAN, penyelenggaraannya dibebankan pada pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD. Artinya, peserta ujian dibebaskan dari biaya mengikuti UAN. Tapi, pada tingkatan sekolah, tidak jelas bagaimana sistem penghitungan dan distribusi dana ujian (baik APBN maupun APBD). Posisi sekolah hanya tinggal menerima alokasi yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara di atasnya. Akibatnya, walau menerima dana untuk menyelenggarakan UAN, sekolah menganggap jumlahnya tidak mencukupi, sehingga kemudian membebankannya pada peserta ujian. Caranya dengan menumpangkan pada biaya SPP atau biaya acara perpisahan.
Disini saya ingin sedikit berkomentar, walaupun UN dijadikan sebagai faktor penentu sudah seyogyanya pemerintah menetapkan standarisasi yang berbeda-beda, misalkan untuk kalangan top level (sekolah-sekolah favorit dikota besar dengan fasilitas dan kulitas pendidikan dan pengajar yang memadai) akan berbeda dengan standarisasi di middle level ataupun low level (dengan fasilitas dan kualitas pendidikan dan pengajar yang terbatas).
Tetapi memang jika meninjau di negara maju seperti Amerika, disana tidak ada ujian sejenis ini, disana para siswa yang hendak masuk ke jenjang perguruan tinggi hanya diharapkan untuk mengikuti tes sejenis psikotes untuk mengetahui minat serta kemampuan setiap individu agar mereka bisa melanjutkan kejenjang Perguruan Tinggi yang sesuai dengan kemampuan individu masing-masing.
Namun bagaimanapun, saya sebagai pribadi menganggap UAN ini sebagai ikhtiyar pemerintah untuk memajukan mutu pendidikan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga saja usaha yang dilakukan pemerintah dapat menuai hasil yang memuaskan yaitu dapat melahirkan SDM yang berkualitas dan berkompeten tentunya, amiin.
Beberapa fenomena yang sering dijumpai saat ini diantaranya :
1. Cara belajar siswa khususnya siswa kelas tiga, bukan lagi bagaimana memahami konsep ilmu pada masing-masing pelajaran, tetapi mirip dengan bagaimana caranya menngerjakan soal. Semua perhatian tertuju pada Ujian Nasional. Sehingga, banyak guru yang menyuapi siswa-siswa dengan latihan soal, latihan soal dan latihan soal. Jadi tidak sedikit, siswa yang lulus UN merupakan siswa yang menguasai konsep, tapi siswa yang menguasai soal.
2. Siswa sangat dituntut dan dibebankan untuk lulus UN dengan standarisasi yang telah ditetapkan, sehingga banyak dari sebagian siswa yang mengikuti UN dengan menghalalkan berbagai cara, dari mulai mencontek, membeli soal, menuntut pihak sekolah untuk membocorkan soal, menuntut guru setempat untuk membantu mengerjakan soal UN, melakukan penjokian dan lain sebagainya.
3. Sebagian siswa juga menganggap UN bukanlah Ujian Kognitif, tetapi merupakan Ujian Nasib, dikarenakan tidak sedikit dari para pendahulunya yang selalu mendapatkan ranking di kelas malah dinyatakan tidak lulus, tetapi sebaliknya siswa yang slenge'an malah lulus.
Memang perdebatan yang sering muncul tersebut tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tetapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.
Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai yang tinggi, yaitu 5,5 Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN. Dan pada penyelenggaraan UAN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial. Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik.Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang--pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek. Kempat, pembiayaan. Dalam dua kali UAN, penyelenggaraannya dibebankan pada pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD. Artinya, peserta ujian dibebaskan dari biaya mengikuti UAN. Tapi, pada tingkatan sekolah, tidak jelas bagaimana sistem penghitungan dan distribusi dana ujian (baik APBN maupun APBD). Posisi sekolah hanya tinggal menerima alokasi yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara di atasnya. Akibatnya, walau menerima dana untuk menyelenggarakan UAN, sekolah menganggap jumlahnya tidak mencukupi, sehingga kemudian membebankannya pada peserta ujian. Caranya dengan menumpangkan pada biaya SPP atau biaya acara perpisahan.
Disini saya ingin sedikit berkomentar, walaupun UN dijadikan sebagai faktor penentu sudah seyogyanya pemerintah menetapkan standarisasi yang berbeda-beda, misalkan untuk kalangan top level (sekolah-sekolah favorit dikota besar dengan fasilitas dan kulitas pendidikan dan pengajar yang memadai) akan berbeda dengan standarisasi di middle level ataupun low level (dengan fasilitas dan kualitas pendidikan dan pengajar yang terbatas).
Tetapi memang jika meninjau di negara maju seperti Amerika, disana tidak ada ujian sejenis ini, disana para siswa yang hendak masuk ke jenjang perguruan tinggi hanya diharapkan untuk mengikuti tes sejenis psikotes untuk mengetahui minat serta kemampuan setiap individu agar mereka bisa melanjutkan kejenjang Perguruan Tinggi yang sesuai dengan kemampuan individu masing-masing.
Namun bagaimanapun, saya sebagai pribadi menganggap UAN ini sebagai ikhtiyar pemerintah untuk memajukan mutu pendidikan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Semoga saja usaha yang dilakukan pemerintah dapat menuai hasil yang memuaskan yaitu dapat melahirkan SDM yang berkualitas dan berkompeten tentunya, amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar