Jika diartikan menurut arti kata, - Open Source- dalam bahasa Indonesia berarti Kode Terbuka. Kode yang dimaksud disini bukanlah kode morse, ataupun kode sandi, tetapi kode yang dimaksud disini adalah Kode Program. Kode Program yang dimaksud adalah perintah - perintah yang diketikkan berdasarkan logika yang benar.
Suatu program dengan lisensi Open Source berarti program tersebut membuka Kode Programnya bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya, caranya dengan menyertakan kode program bersama dengan distribusi paket program yang sudah jadi (hasil kompilasi). Dengan penyertaan kode program tersebut, pembeli atau pengguna program dapat membedah program tersebut, melakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhannya, bahkan memperbaiki -Bug- atau kesalahan logika dalam program tersebut. Contoh program yang Open Source adalah Linux. Dalam setiap distribusinya vendor Linux juga menyertakan Kode Program Linux.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa program / software yang Open Source tidak selalu tersedia secara gratis. Tetap ada biaya yang dikeluarkan untuk membeli program tersebut. Contoh, misalnya Sistem Operasi RedHat Linux, program Linuxnya tetap dibeli dengan harga yang murah. Lalu, apa bedanya Open Source dengan -Closed Source-
Pada program yang -Closed Source-, paket program tidak dapat didistribusikan lagi selain oleh pembuat / vendor program tersebut. Jika ada distribusi yang bukan oleh vendor program tersebut, maka itu dianggap sebagai pembajakan software. Atau dengan kata lain program yang -Closed Source- tidak dapat didistribusikan secara bebas, kecuali oleh vendor program tersebut. Sedangkan software yang Open Source, dapat didistribusikan secara bebas oleh siapapun. Paket program juga dapat digandakan secara bebas.
Tujuan Open Source sebenarnya adalah ingin menghilangkan ketergantungan terhadap vendor program, dimana vendor bisa saja bertindak seenaknya. Dalam program yang -Closed Source- vendor bisa saja menyisipkan kode - kode yang mungkin dapat membahayakan pengguna program, dan menghilangkan privasi pengguna.
Selain itu, Open Source juga bertujuan menyediakan software yang mudah dijangkau oleh masyarakat luas, dan menghindari pengerukan keuntungan yang berlebihan oleh vendor.
Distro
Suatu program dengan lisensi Open Source berarti program tersebut membuka Kode Programnya bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya, caranya dengan menyertakan kode program bersama dengan distribusi paket program yang sudah jadi (hasil kompilasi). Dengan penyertaan kode program tersebut, pembeli atau pengguna program dapat membedah program tersebut, melakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhannya, bahkan memperbaiki -Bug- atau kesalahan logika dalam program tersebut. Contoh program yang Open Source adalah Linux. Dalam setiap distribusinya vendor Linux juga menyertakan Kode Program Linux.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa program / software yang Open Source tidak selalu tersedia secara gratis. Tetap ada biaya yang dikeluarkan untuk membeli program tersebut. Contoh, misalnya Sistem Operasi RedHat Linux, program Linuxnya tetap dibeli dengan harga yang murah. Lalu, apa bedanya Open Source dengan -Closed Source-
Pada program yang -Closed Source-, paket program tidak dapat didistribusikan lagi selain oleh pembuat / vendor program tersebut. Jika ada distribusi yang bukan oleh vendor program tersebut, maka itu dianggap sebagai pembajakan software. Atau dengan kata lain program yang -Closed Source- tidak dapat didistribusikan secara bebas, kecuali oleh vendor program tersebut. Sedangkan software yang Open Source, dapat didistribusikan secara bebas oleh siapapun. Paket program juga dapat digandakan secara bebas.
Tujuan Open Source sebenarnya adalah ingin menghilangkan ketergantungan terhadap vendor program, dimana vendor bisa saja bertindak seenaknya. Dalam program yang -Closed Source- vendor bisa saja menyisipkan kode - kode yang mungkin dapat membahayakan pengguna program, dan menghilangkan privasi pengguna.
Selain itu, Open Source juga bertujuan menyediakan software yang mudah dijangkau oleh masyarakat luas, dan menghindari pengerukan keuntungan yang berlebihan oleh vendor.
Distro
adalah bundel dari kernel Linux, beserta sistem dasar linux, program instalasi, tools basic, dan program-program lain yang bermanfaat sesuai dengan tujuan pembuatan distro. Linux bisa didapatkan dalam berbagai distribusi (sering disebut Distro). Ada banyak sekali distro Linux, diantaranya :
RedHat, distribusi yang paling populer, minimal di Indonesia. RedHat merupakan distribusi pertama yang instalasi dan pengoperasiannya mudah.
Debian, distribusi yang mengutamakan kestabilan dan kehandalan, meskipun mengorbankan aspek kemudahan dan kemutakhiran program. Debian menggunakan .deb dalam paket instalasi programnya.
Slackware, merupakan distribusi yang pernah merajai di dunia Linux. Hampir semua dokumentasi Linux disusun berdasarkan Slackware. Dua hal penting dari Slackware adalah bahwa semua isinya (kernel, library ataupun aplikasinya) adalah yang sudah teruji. Sehingga mungkin agak tua tapi yang pasti stabil. Yang kedua karena dia menganjurkan untuk menginstall dari source sehingga setiap program yang kita install teroptimasi dengan sistem kita. Ini alasannya dia tidak mau untuk menggunakan binary RPM dan sampai Slackware 4.0, ia tetap menggunakan libc5 bukan glibc2 seperti yang lain.
SuSE, distribusi yang sangat terkenal dengan YaST (Yet another Setup Tools) untuk mengkonfigurasi sistem.SuSE merupakan distribusi pertama dimanainstalasinya dapat menggunakan bahasa Indonesia.
Mandrake, merupakan varian distro RedHat yang dioptimasi untuk pentium. Kalau komputer kita menggunakan pentium ke atas, umumnya Linux bisa jalan lebih cepat dgn Mandrake.
WinLinux, distro yang dirancang untuk diinstall di atas partisi DOS (WIndows). Jadi untuk menjalankannya bisa di-klik dari Windows. WinLinux dibuat seakan-akan merupakan suatu program aplikasi underWindows.
Tetapi nampaknya gaung gerakan IGOS (Indonesia goes open source) nampaknya semakin tenggelam dengan maraknya kampanye Pemilu 2009 dan sederetan kasus-kasus “aneh” yang muncul di layar kaca kita. Serupa dengan gerakan-gerakan lain yang dicanangkan oleh pemerintah seperti gerakan hemat BBM, gerakan hemat listrik, gerakan anti-korupsi dsb. Nampaknya IGOS juga bisa jadi hanya sekedar wacana belaka. Meriah dan penuh dengan gegap gempita di awal pencanangannya untuk kemudian segera “dicampakkan” dan “dilupakan” begitu saja.
Saya tak tahu pasti mengapa hal ini bisa terjadi. Hal yang pasti adalah bahwa untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat itu bukan pekerjaan mudah seperti membalik telapak tangan. Ada banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik itu yang mendukung maupun faktor yang menghambat. Keteladanan mungkin masih menjadi masalah klasik yang sejak dulu melanda negeri ini. Lihat saja “nasib” Pancasila yang dulunya begitu diagung-agungkan di sana sini. Bagaimana penerapannya pada masa sekarang? Rupanya “sejuta” penataran tidaklah cukup untuk menjadikan Pancasila sebagai bagian dari masyarakat kalau tak ada figur yang bisa dijadikan contoh teladan bagaimana kehidupan yang Pancasilais dan itu kembali kepada keteladanan dari para pemimpin.
Begitu pula dengan nasib IGOS yang nampaknya belum bisa kita lihat sisi keteladanannya dari para pemimpin kita. Kalau ada mungkin hanya dicontohkan oleh DepKomInfo atau sebangsanya. Bukankah pemerintah itu bukan hanya DepKomInfo dkk saja? Coba aja dicek, berapa persen aparat pemerintah yang udah dengan sadar melaksanakan IGOS. Jangankan melaksanakan IGOS, lebih parah lagi mungkin banyak yang tidak tahu apa itu IGOS.
Sebenarnya pemerintah bisa saja sedikit “memaksakan” IGOS untuk diterapkan pada masyarakat. Dengan menerbitkan aturan yang mengharuskan penggunaan software open source di lingkungan pemerintahan. Hal ini bisa saja dilaksanakan karena pemerintah memang memiliki otoritas untuk itu. Kalau tidak dipaksa, mungkin banyak yang tak mau melaksanakannya. Sayang sekali, cara seperti ini kelihatannya juga bisa jadi tak akan berhasil. Hal yang sama juga pernah diterapkan pada gerakan-gerakan lain yang dicanangkan pemerintah tetapi juga tidak memberikan hasil yang signifikan.
Hal lain yang agaknya menjadi penghambat adalah mayoritas warga negara Indonesia enggan (:baca malas) mempelajari sesuatu yang baru (apalagi sesuatu yang susah). Saya sendiri sudah merasakan bagaimana “susahnya” menginstall suatu software open source karena memang caranya agak berbeda dengan yang sudah biasa dikenal sejak kecil (tinggal next-next-next maksudnya). Akan tetapi, ternyata itu hanyalah masalah kebiasaan saja. Dengan terus mencoba akhirnya juga akan terbiasa juga dan menjadi terasa mudah. Kalau semenjak kecil sudah dikenalkan dengan “produk-produk” open source maka mungkin kita akan menganggapnya mudah dan menyenangkan.
RedHat, distribusi yang paling populer, minimal di Indonesia. RedHat merupakan distribusi pertama yang instalasi dan pengoperasiannya mudah.
Debian, distribusi yang mengutamakan kestabilan dan kehandalan, meskipun mengorbankan aspek kemudahan dan kemutakhiran program. Debian menggunakan .deb dalam paket instalasi programnya.
Slackware, merupakan distribusi yang pernah merajai di dunia Linux. Hampir semua dokumentasi Linux disusun berdasarkan Slackware. Dua hal penting dari Slackware adalah bahwa semua isinya (kernel, library ataupun aplikasinya) adalah yang sudah teruji. Sehingga mungkin agak tua tapi yang pasti stabil. Yang kedua karena dia menganjurkan untuk menginstall dari source sehingga setiap program yang kita install teroptimasi dengan sistem kita. Ini alasannya dia tidak mau untuk menggunakan binary RPM dan sampai Slackware 4.0, ia tetap menggunakan libc5 bukan glibc2 seperti yang lain.
SuSE, distribusi yang sangat terkenal dengan YaST (Yet another Setup Tools) untuk mengkonfigurasi sistem.SuSE merupakan distribusi pertama dimanainstalasinya dapat menggunakan bahasa Indonesia.
Mandrake, merupakan varian distro RedHat yang dioptimasi untuk pentium. Kalau komputer kita menggunakan pentium ke atas, umumnya Linux bisa jalan lebih cepat dgn Mandrake.
WinLinux, distro yang dirancang untuk diinstall di atas partisi DOS (WIndows). Jadi untuk menjalankannya bisa di-klik dari Windows. WinLinux dibuat seakan-akan merupakan suatu program aplikasi underWindows.
Tetapi nampaknya gaung gerakan IGOS (Indonesia goes open source) nampaknya semakin tenggelam dengan maraknya kampanye Pemilu 2009 dan sederetan kasus-kasus “aneh” yang muncul di layar kaca kita. Serupa dengan gerakan-gerakan lain yang dicanangkan oleh pemerintah seperti gerakan hemat BBM, gerakan hemat listrik, gerakan anti-korupsi dsb. Nampaknya IGOS juga bisa jadi hanya sekedar wacana belaka. Meriah dan penuh dengan gegap gempita di awal pencanangannya untuk kemudian segera “dicampakkan” dan “dilupakan” begitu saja.
Saya tak tahu pasti mengapa hal ini bisa terjadi. Hal yang pasti adalah bahwa untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat itu bukan pekerjaan mudah seperti membalik telapak tangan. Ada banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik itu yang mendukung maupun faktor yang menghambat. Keteladanan mungkin masih menjadi masalah klasik yang sejak dulu melanda negeri ini. Lihat saja “nasib” Pancasila yang dulunya begitu diagung-agungkan di sana sini. Bagaimana penerapannya pada masa sekarang? Rupanya “sejuta” penataran tidaklah cukup untuk menjadikan Pancasila sebagai bagian dari masyarakat kalau tak ada figur yang bisa dijadikan contoh teladan bagaimana kehidupan yang Pancasilais dan itu kembali kepada keteladanan dari para pemimpin.
Begitu pula dengan nasib IGOS yang nampaknya belum bisa kita lihat sisi keteladanannya dari para pemimpin kita. Kalau ada mungkin hanya dicontohkan oleh DepKomInfo atau sebangsanya. Bukankah pemerintah itu bukan hanya DepKomInfo dkk saja? Coba aja dicek, berapa persen aparat pemerintah yang udah dengan sadar melaksanakan IGOS. Jangankan melaksanakan IGOS, lebih parah lagi mungkin banyak yang tidak tahu apa itu IGOS.
Sebenarnya pemerintah bisa saja sedikit “memaksakan” IGOS untuk diterapkan pada masyarakat. Dengan menerbitkan aturan yang mengharuskan penggunaan software open source di lingkungan pemerintahan. Hal ini bisa saja dilaksanakan karena pemerintah memang memiliki otoritas untuk itu. Kalau tidak dipaksa, mungkin banyak yang tak mau melaksanakannya. Sayang sekali, cara seperti ini kelihatannya juga bisa jadi tak akan berhasil. Hal yang sama juga pernah diterapkan pada gerakan-gerakan lain yang dicanangkan pemerintah tetapi juga tidak memberikan hasil yang signifikan.
Hal lain yang agaknya menjadi penghambat adalah mayoritas warga negara Indonesia enggan (:baca malas) mempelajari sesuatu yang baru (apalagi sesuatu yang susah). Saya sendiri sudah merasakan bagaimana “susahnya” menginstall suatu software open source karena memang caranya agak berbeda dengan yang sudah biasa dikenal sejak kecil (tinggal next-next-next maksudnya). Akan tetapi, ternyata itu hanyalah masalah kebiasaan saja. Dengan terus mencoba akhirnya juga akan terbiasa juga dan menjadi terasa mudah. Kalau semenjak kecil sudah dikenalkan dengan “produk-produk” open source maka mungkin kita akan menganggapnya mudah dan menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar