Jumat, 06 Maret 2009

Esensi Koalisi Dalam Pemilu

Menjelang pemilu 2009, para elite politik dari berbagai partai sedang disibukkan dalam melakukan koalisi, Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Banyaknya partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti memang menggiring partai politik untuk berkoalisi agar bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

Dalam sistem pemerintahan presidensil yang multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Pemerintahan yang kuat bisa diartikan pemerintah yang mampu menciptakan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau perlawanan di parlemen, dengan kata lain sudah seharusnya presiden memiliki kekuasaan mengendalikan jalannya pemerintahan, namun demikian sistem ini belum dipahami secara matang oleh masyarakat dan elit politik kita, sehingga saat ini kekuasaan parlemen juga mendominasi jalannya pemerintahan. Maka tidak heran jika banyak kebijakan pemerintah terkadang terhenti karena adanya penolakan-penolakan dari parlemen. Oleh karena itu, seorang pemimpin di negeri ini harus memiliki dukungan yang cukup di parlemen untuk mengamankan berbagai kebijakan pemerintah.

Karena tuntutan semacam itulah maka ranah politik menjelang pemilu 2009 di nusantara ini mulai memanas, partai-partai politik tidak henti-hentinya bermanuver dan mengeluarkan statement-statement yang tidak saja mengumbar berbagai macam janji yang kebanyakan bertolak belakang dengan implementasi (bukan hal yang aneh, janggal dan mengherankan) tetapi juga mereka saling mengkritik kinerja dari masing-masing parpol.

Sebenarnya jika kita mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet.

Koalisi yang ideal dan dapat memenuhi hakikat dari pada arti kata koalisi tersebut tentunya jika dapat menciptakan koalisi sesuai dengan teori diatas. Koalisi yang mudah memang berawal dari kesamaan ideologi. Namun kesamaan ideologi juga harus disertai oleh adanya nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan. Nilai bersama dan tujuan yang sama itulah yang akan menimbulkan saling percaya (trust) yang akan menjadi perekat bagi anggota koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang tahan lama(durable).

Jika melihat realita yang ada sekarang ini, ada beberapa partai besar yang berkoalisi tanpa mengindahkan kesamaan ideologi apalagi benar-benar menjalankan teorinya Arend Lijphart. Ironis sekali memang, di suatu wilayah kedua partai tersebut menjadi musuh bebuyutan, tetapi di pusat kedua partai tersebut malah berkoalisi demi memenangkan pemilu 2009 mendatang. Beberapa calon presiden dan calon wakil presiden juga mulai dipilih dan ditentukan yang terkadang mengabaikai profil dari orang tersebut. Mereka hanya memikirkan tentang popularitas dan kharisma dari calonnya demi nafsu untuk menjadi pemenang di pesta demokrasi, tanpa memikirkan apakah mempunyai jiwa leadership, dedikasi yang tinggi, kredibilitas, amanah dan sholeh atau tidak.

Siapaun calon presiden dan calon wakil presiden yang nantinya berkuasa ini tentunya harus bisa memperbaiki (repair) berbagai macam masalah negara yang terjadi yang belum terselesaikan di jagat nusantara ini serta untuk dapat menjawab tantangan zaman (setidaknya pada masanya) minimal demi membuat masyarakat ini agar bisa tersenyum.

Salah satu tujuan dari negara ini adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Harus diakui memang selama ini para pemimpin kita masih kurang taat dengan asas pada pencapaian tujuan nasional tersebut. Di depan mata, India akan segera menguasai produk software dunia, China akan segera merajai produk hardware dunia. Tetapi kita?. Sudah saatnya Pluralisme menjadi kesadaran bersama, jadikan mimpi kita semua sama : Ingin seluruh rakyat Indonesia bias mesem (tersenyum) karena cukup sandang-pangan-papan, biaya sekolah serta kesehatan terjangkau.

Dan bagi mereka yang kalah dalam sayembara nanti tentunya harus bisa legowo (ikhlas) sesuai dengan obyektivitas yang ada. Jangan malah menjadikan oposisi sebagai langkah yang mutlak baginya. Oposisi bukanlah sebuah hal yang tabu jika dijalankan dengan benar-benra untuk melakukan check and balance. Namun jika oposisi dijalankan karena dendam pribadi, tentu sikap-sikap kritik terhadap pemerintah lebih didasari oleh subyektifitas. Alangkah baiknya juga jika siapaun yang lolos menjadi pemenangnya untuk bisa saling bahu-membahu mendukung pemerintahan menyelesaikan persoalan bangsa dan bukannya saling menyalahkan satu sama lain karena yang dibutuhkan bangsa ini bukannya konflik, bukannya saling ejek atau pun saling menyalahkan. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah lepas dari krisis multidimensi yang saat ini masih membelenggu Indonesia. Tujuan negara seperti yang tertuang dalam alinea keempat UUD 45 harus bisa tercapai. Untuk itu, diperlukan kersadaran nasional para politisi dan pemimpin negeri ini untuk bersatu membangun negeri.

Rakyat cuma pengin bisa tersenyum Pak……. !!!!

1 komentar:

  1. salam kenal mas ginanjar. Kebetulan sekali di skripsi lagi membahas masalah pemberitaan koalisi politik di media massa. Teori Arend Lijphart yang mas pakai di postingan ini cocok utk teori subtantif saya. Bisa minta info resensi buku yg ada teori itu mas? terimakasih :)
    -gita-

    BalasHapus