Jumat, 27 Maret 2009

Air Situ Gintung Membawa Petaka....

27 Maret 2009 merupakan hari yang tidak akan mudah dilupakan, khususnya bagi warga Tanggerang dikarenakan jebolnya bendungan situ gintung. Bendungan yang dibangun pada masa pemerintahan belanda tahun 1932 itu memang sudah diketahui oleh warga setempat telah merembes dan bocor. Beberapa tahun yang lalu warga sering juga mengalami kebanjiran dalam skala kecil dikarenakan bendungan urugan homogen dengan area pelimpah (spill way) tersebut lebarnya hanya 5 meter. Di area tersebut terdapat pintu untuk irigasi untuk zaman dulu yang sekarang ukurannya kecil karena menjadi areal rumah. Warga juga telah berusaha untuk meminta pemerintah setempat agar memperbaiki bendungan tersebut walaupun tanpa respon dari pemerintahan setempat.
Tempat dengan luas area sekitar 21 hektar yang indah dan permai ditengah-tengah kepenatan dan kebisingan kota tersebut sekarang malah memberikan efek negatif yang membuat kurang lebih 300 rumah di RT 02, RT 03, RT 04 yang berada di RW 08 Kampung Poncol, Situ Gintung, Cireundeu, Ciputat, Tangerang itu rusak parah.
Sebenarnya dari beberapa kejadian-kejadian sebelumnya seperti tanah longsor, kebanjiran bahkan tsunami yang terjadi di Nusantara ini seharusnya pemerintah harus lebih hati-hati dan waspada terhadap indikasi jebolnya tanggul situ gintung tersebut. Perhitungan masa bangunan, perkiraan debit air yang bisa ditampung serta kekuatan tanggul seyogyanya harus bisa diperhitungkan.
Dengan kejadian yang menelan korban lebih dari 50 orang itu sudah sangat pasti banyak pihak yang dirugikan. Seandainya saja pemerintah mau sedikit mendengarkan dan menanggapi keluhan dan laporan warga setempat serta bertindak cepat, dan dari pihak warga untuk saling menjaga (tidak membangun bangunan berbentuk apapun di area bendungan yang dapat mempersempit aliran air itu) kecil kemungkinan untuk terjadi bencana yang dahsyat ini.
Tetapi nasi memang sudah menjadi bubur, tinggal kita secara pribadi untuk selalu berinstropeksi diri, sampai sejauh mana tingkat kesadaran untuk peduli terhadap alam dan sesama, agar setidaknya untuk meminimalis terjadinya bencana alam lagi.

Jumat, 20 Maret 2009

Generasi Penerus Bangsa Yang Anti Tawuran

Bila di tinjau dari segi usia, pelajar SLTP dan SLTA memiliki gejolak emosional yang tinggi dan potensial memiliki banyak masalah. Pada usia antara 13-18 tahun merupakan usia yang rawan terhadap pengaruh dari berbagai aspek kehidupan. Dalam kurun waktu itu timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Kondisi tersebut akan diikuti oleh :

· Keinginan mengisolasi diri dari pergaulan umum maupun pergaulan keluarga.

· Kejenuhan/kebosanan. Timbul rasa bosan melakukan kegiatan yang sebenarnya selalu dilakukan dengan senang hati, seperti bosan sekolah atau kegiatan sosial tertentu. Dengan demikian, prestasi sekolah umumnya menurun drastis.

· Antagonisme sosial. Kebutuhan "otonom", mandiri berkembang sebagai konsekuensi perlakuan yang menuntut dari lingkungan terhadap remaja. Namun kenyataannya, remaja merasa ia sendiri belum yakin akan kemampuan untuk otonom, sehingga remaja sering dihadapkan pada situasi frustrasi.

· Peningkatan emosionalitas. Kemurungan, cepat tersinggung, sifat-sifat provokatif, depresi, marah-gembira, silih berganti dalam waktu relatif singkat, sehingga sulit dimengerti oleh orangtua, keluarga, dan sekolah.

· Kehilangan keyakinan diri. Perasaan selalu disalahkan lingkungan sering membuat remaja merasa kehilangan keyakinan diri. Hal ini diikuti rasa rendah diri yang eksesif pada untuk sementara remaja.

· Rasa selalu ingin tahu yang besar.

Berangkat dari rasa ingin tahu inilah maka remaja selalu punya keinginan untuk mencoba berbagai macam hal, teruatama hal-hal yang selalu dilarang dan negative attitude, mulai dari menggunakan narkoba, minum-minuman keras, sex bebas dan tawuran.

Tawuran mungkin kata yang tidak asing ditelinga kita, karena begitu seringnya di media massa dan elektronik menayangkan berita-berita tersebut, sungguh ironis memang jika generasi penerus bangsa malah menyibukkan diri untuk mengatur sebuah kemenangan dalam tawuran.

Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.

Berkaitan dengan agresi Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan juga mengajukan suatu ancaman kesehatan masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif.

Andreas diekmann, Monika jungbaeur-gans, Heinz Krassing, Sigrid Lorenz dalam penelitiannya Social Status and Aggression menunjukan bahwa sosial status yang lebih tinggi tidak hanya menghambat respon agressif namun juga dapat memperhebat kecenderungan agresif seseorang, namun penelitian ini tidak dapat di generalisasikan karena perbedaan budaya dapat juga memainkan peran dalam agresi.

Perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain. Jenis Agresi digolongkan menjadi dua, yaitu (1) agresi permusuhan (hostile aggression) semata- mata dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2) agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup perkelahian untuk membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika terjadi perampokan, perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang (Myers dalam Sarwono,2002). Perbedaan kedua jenis agresi ini terletak pada tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata- mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain.

Teori Frustrasi Agresi

Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.

Teori Belajar Sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.

Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.

Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksiksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya serta aksi dari para pejabat atau wakil rakyat yang jarang mengindahkan musyawarah untuk mufakat, semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.

Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.

Teori Kualitas Lingkungan

Teori kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah. Setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama adalah faktor fisik sekolah Seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas interaksi edukatif di sekolah.

Kedua dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif Pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta hubungan yang tidak harmonis antar anggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti perkelahian.

Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah .

Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang.

Beberapa cara yang harus ditempuh agar tidak terlibat dalam aksi tawuran :

· Remaja harus ikut/melakukan aktivitas yang positif untuk menyibukkan diri, seperti : ikut les/kursus, olah raga dsb.

· Lingkungan keluarga berpengaruh besar dalam menciptakan remaja yang berperilaku baik, seyogyanya hal-hal yang dilakukan oleh orang tua diantaranya :

ü Menciptakan suasana yang selalu penuh dengan kasih sayang.

ü Mangajari tentang kemandirian.

ü Selalu berperilaku sopan dan santun.

ü Saling memperhatikan anatar sesama anggota keluarga.

ü Orang tua sudah seharusnya memberi contoh yang baik.

ü Disamping memperkuat ritual keagamaan, juga memperkuat nilai moral yang terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari - hari.

Menciptakan suasana demokratis.

· Sekolah juga memiliki peran dalam mengatasi pencegahan tawuran, diantaranya :

ü Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik adalah yang bisa Mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan.

ü Pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas remaja.

ü Sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara "konvensional bermusuhan" itu.

· LSM dan Aparat Kepolisian

LSM disini dapat melakukan kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah mengenai dampak dan upaya yang perlu dilakukan agar dapat menanggulangi tawuran. Aparat kepolisian juga memiliki andil dalam menngulangi tawuran dengan cara menempatkan petugas di daerah rawan dan melakukan razia terhadap siswa yang membawa senjata tajam.

· Pejabat (Pemerintahan) dan Wakil Rakyat

Sudah seharusnya mereka memberikan contoh yang baik dalam memutuskan suatu permasalahan, yaitu dengan mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Jangan sampai pelajar yang terlibat dalam aksi tawuran dan tertangkap oleh polisi berargumen kalau wakil rakyat saja sering adu jotos (tentu saja itu bukan statemen yang lucu).