Sabtu, 21 Mei 2011

Pelangipun Tak Akan Indah Jika Hanya Memiliki Satu Warna

Kekisruhan yang tak kunjung usai di tanah ibu pertiwi ini mengindikasikan bahwa masyarakat belum mengerti betul esensi Kebangkitan Nasional. Hampir di berbagai lini kehidupan, baik pemerintahan maupun kemasyarakatan sering terjadi perdebatan sengit hingga berujung pada permusuhan. Kita amati saja di beberapa media, untuk kalangan pemerintahan misalnya, di bidang olah raga (PSSI), ekonomi, sosial, keamanan, keagamaan, apalagi di bidang politik dan hukum, hampir semuanya terjadi kekisruhan demi nafsu kemenangan pribadi. Demikian pula jika kita amati ke bawah untuk tingkat masyarakat, pembunuhan, aksi-aksi anarkis, sampai pemrosesan ke ranah hukum tak jarang terjadi hanya karena masalah sepele, yaitu silang pendapat.

Dengan memperingati Hari Kebangkitan Nasional, sudah seharusnya kita sebagai WNI yang baik untuk selalu belajar agar menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Ironis memang, jika orang-orang kepercayaan kita yang duduk di kursi eksekutif maupun legislatif selalu memperkeruh masalah, bernafsu untuk berkuasa, memutar balik fakta, mendustai masyarakat, saling memfitnah, saling menghujat, saling bermusuhan dan bahkan saling adu jotos layaknya preman-preman yang 'notabene' telah diberantas habis-habisan oleh Kepolisian seperti Gajah Oling, Komando dan sebagainya, hanya demi kepentingan pribadi atau golongan. Lalu dimana asas demokrasi yang selama ini kita junjung tinggi?? Dan bagaimana pula rakyat bisa percaya bahkan mencontoh mereka??

Demikian pula dengan asumsi di hampir semua golongan yang seolah memiliki trustment bahwa perbedaan/silang pendapat merupakan pihak oposisi, bahkan tak sedikit pula yang menganggap bahwa mereka adalah rival yang sesegera mungkin agar ditumpas atau dibinasakan. Percik api kemarahan hingga menimbulkan permusuhan mudah saja terbuat hanya karena masalah perbedaan pendapat. Bukankah dalam demokrasi perbedaan pendapat itu sesuatu yang wajar? dan bukankah arti dari Bhineka Tunggal Ika itu berbeda-beda tetap satu jua??

Sedih memang jika filosofi dari Demokrasi dan Bhineka Tunggal Ika dengan entengnya dihiraukan bahkan dikhianati. Mengapa juga perbedaan dijadikan suatu hal yang sangat menjengkelkan hingga menimbulkan beragam kericuhan? Tidakkah perbedaan pendapat akan terasa indah untuk dirumuskan guna mengambil suatu kesimpulan yang lebih baik jika masing-masing pihak bisa bertanggung jawab atas pendapatnya. Bukankah pelangi tak akan kelihatan indah jika hanya memiliki satu warna?, Tak ada gunanya memang untuk saling menyalahkan, akan lebih baik jika kita saling bermuhasabah(introspeksi diri) serta selalu saling mengingatkan (wa tawa shoubilkhaqqi wa tawa shoubissobri) demi tegaknya asas demokrasi dan demi terciptanya the power of Bhineka Tunggal Ika.

Rabu, 04 Mei 2011

Ramainya Sekolah Tak Seramai Pendidikan

Dua hari sudah hari pendidikan nasional telah kita peringati bersama, beragam acara seremonialpun telah banyak dilakukan terutama di sekolah-sekolah, seperti : menggunakan kostum/seragam tertentu, mengadakan upacara bendera hingga melakukan pawai keliling desa/kota dengan menggunakan pakaian adat. Tak sedikit dari mereka yang sangat antusias mengikuti beragam acara yang diadakan di sekolah-sekolah mereka. Namun sangat disayangkan jika acara-acara tersebut hanya terbatas pada simbolik HARDIKNAS saja, dimana sebagai seorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dengan maksud mencerdaskan anak bangsa tak mengerti esensi dari HARDIKNAS itu sendiri.

Benar memang jika tak sedikit anak bangsa yang telah menorehkan beragam prestasi brilliant ditingkat nasional maupun internasional, misalnya : juara olimpiade fisika tingka ASIA, juara olimpiade kimia tingkat ASEAN, juara catur tingkat ASIA dan sebagainya. Sudah seharusnya kita sebagai WNI untuk tetap mensupport dan mengapresiasi baik atas usaha yang dilakukan anak-anak bangsa tersebut. Namun disisi lain beragam aksi yang mengisyaratkan adanya dekadensi moral seperti aksi tawuran antar pelajar, peradaran narkoba dan seks bebas di wilayah akademispun tak asing didengar oleh telinga kita, bahkan grafiknya pun semakin meningkat. Lalu dimana sebenarnya urgensi dari filosofi pendidikan ?

Tak dapat dipungkiri jika minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya semakin tinggi, pemerintah pun 'katanya' dengan transparan memberikan bantuan untuk memfasilitasi bagi saiap-siapa yang berminat untuk bersekolah. Namun kenapa juga masih sering kita dengar tindakan kriminalitas yang dilakukan anak-anak yang notabene telah memperoleh pendidikan? Lalu sebenarnya pendidikan apa yang diperoleh anak-anak tersebut selama bersekolah? Disinilah memang esensi dari pendidikan yang seharusnya kita pahami.

Sekilas tentang pengamatan saya bahwa tak sedikit sekolah yang lebih mengutamakan untuk menanamkan cara berkognitif yang baik dibanding menanamkan sikap mental, cara beretika dan berperilaku yang baik kepada para siswanya. Mereka lebih berbangga hati jika ada siswanya yang menjadi juara cerdas cermat/pidato dibandingkan dengan siswanya yang beretika baik terhadap lingkungannya. Tidak ada maksud sedikitpun untuk memojokkan sekolah, karena sekolah hanyalah sebuah sarana atau media, hanya saja device /tool pada sekolah tersebut hendaknya untuk selalu diingatkan bahwa sistem pendidikan yang ada harus selalu dikaji ulang, penajaman otak kanan tak kalah penting dengan penajaman otak kiri, pemahaman etika, sopan santun dan sikap mental yang baik tak kalah penting dengan sekedar pintar dalam berhitung atau pintar dalam berbahasa asing, pengalokasian dana BOS dari pemerintah juga harus tepat sasaran sehingga tak ada dana-dana gaib lain yang di tujukan kepada siswanya. Harapan terbesar dari peringatan HARDIKNAS tersebut adalah agar Pendidikan Seramai Sekolahan.